Kunjungi Web Kami : Yayasan | TK | SD | SMP | SMA | Boarding School | STKIP Al Hikmah Surabaya
Login | Hubungi kami 031-8289097

Hidup itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem

Nama Penulis : Emha Ainun Nadjib, Penerbit : Noura Religi, Peresensi: Lilis Muchoiyyaroh, S.Pd.

Hidup itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem

Menikah itu ibadah, Jangan salah NIAT!

 

Dalam Islam, menikah adalah ibadah terpanjang dan merupakan penyempurna agama. Perlu bekal yang cukup untuk menikah, pasangan yang akan melaksanakan pernikahan harus siap secara lahir dan batinnya. Jika tidak siap, maka banyak kasus berujung pada perceraian. Ada suatu cerita. Suatu hari datanglah seorang santri putra ke kediaman kyai-nya dengan membawa segumpal problematikanya dalam rumah tangga. Si Santri bertanya tentang posisi perempuan kenapa umat Islam begitu menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan? Bahkan Rasulullah mengangkat derajat perempuan 3x lebih tinggi daripada laki-laki ketika sudah menikah itu karena perempuan melakukan 3 hal yang tidak bisa dilakukan laki-laki yaitu hamil, melahirkan, dan menyusui. 

Santri kemudian bertanya lagi lalu mengapa Allah juga menciptakan perempuan yang kadang tidak bertakdir demikian? Seperti Aisyah istri Rasulullah yang bisa menjadi istri namun tidak bertakdir sebagai seorang ibu. Apakah kemudian kedudukan perempuan seperti Aisyah berbeda tingkatan dibanding perempuan lain yang bisa hamil, melahirkan dan menyusui?

Kyai kemudian menjawab: Ketahuilah wahai anakku, Allah akan memberi takdir kepada perempuan dengan takdir yang sesuai dengan porsinya. Aisyah r.a sangat handal menjadi istri Rasulullah dalam berdakwah dan itu kelebihannya. Akan berbeda jika Aisyah r.a kemudian menjadi ibu. Maka jika kau wahai anakku memiliki takdir istri yang seperti Aisyah r.a ketahuilah bahwa itu juga kelebihan yang Allah berikan kepada istrimu. Fokuslah pada hal itu dan jangan fokus pada kekurangannya karena belum juga melakukan 3 hal diatas. 

Si Santri masih juga bertanya kepada Sang Kyai “Namun apakah salah jika tujuanku menikah adalah agar dapat memiliki keturunan yang meneruskan perjuanganku dan jika aku tiada, ada anak yang akan mendoakanku? Tapi hal itu belum bisa dikabulkan oleh istriku.”

Sang Kyai kemudian diam sesaat dan meminta si santri itu mengambil wudhu seraya Sang Kyai mengikutinya dari belakang. Sebelum si santri mengambil wudhu, Sang Kyai meminta si santri untuk berniat puasa sebelum wudhu. Hal itu membuat si santri kaget dan mengatakan mengapa saya hendak wudhu namun engkau minta untuk niat berpuasa? Itu kan tidak sesuai dan wudhu-ku menjadi tidak sah termasuk sholatku nanti. Sang Kyai pun menjawab bahwa ternyata bahaya sekali ya jika kita melakukan sesuatu itu salah niat. Wudhu adalah syarat sah sholat namun wudhu akan tidak sah karena salah niat. Si santri masih mencerna maksud Sang Kyai dan melanjutkan wudhunya dengan niat yang sesuai.

Setelah berwudhu, Sang Kyai meminta santrinya itu untuk menunaikan sholat dhuha karena kebetulan hari itu masih pagi. Santri pun menurut dan segera sholat dhuha. Usai sholat dhuha, keduanya melanjutkan perbincangan yang mungkin menjadi titik balik dari kegelisahan hati si santri.

Sang Kyai berkata “Wudhu jika salah niat menjadi tidak sah, betul ya? Nah bagaimana dengan salah niat ketika memutuskan untuk menikah? Kan kamu tau bahwa menikah itu ibadah terpanjang dan godaan syetan sangat banyak dalam berumah tangga karena itu bernilai ibadah. Jika kau berniat menikah agar kau memiliki keturunan yang kelak mendoakanmu ketika wafat, maka apakah engkau akan selesai sampai disitu jika Allah sungguh memberimu keturunan? Apakah tidak ada tugas lain setelahnya dari Allah untukmu? Allah akan menambah nikmat jika engkau mensyukuri apa yang sudah kau miliki saat ini. Sebelum kau berharap menikah agar memiliki keturunan, pernahkah kau bersyukur atas nikmat Allah mempertemukanmu dengan perempuan yang mau menikah denganmu? Mau meninggalkan keluarganya dan orangtuanya untuk hidup bersamamu? Jika kau belum bersyukur atas istrimu, maka Allah bisa jadi menunda pengabulan doamu atas keturunanmu. Jadi, diberi apapun oleh Allah, kita harus bersyukur sekalipun di kacamata kita itu suatu bentuk kekurangan dan kekecewaan hidup. Jangan gampang percaya dengan hal-hal yang terlihat. Jangan tertipu penglihatan kita. Semuanya harus “dirasakan” dulu. Yang baik itu “bisa merasa”, bukan “merasa bisa”. Seperti wudhu, dari seluruh gerakan wudhu, yang dibersihkan badannya, martabatnya, atau hatinya? 

Si Santri mulai berlinang air mata dan menunduk seraya menjawab “hatinya”. Sang Kyai kemudian melanjutkan nasihatnya “Betul anakku, wudhu tidak hanya peristiwa jasmani yang menjadi salah satu syarat sah sholat tapi wudhu juga peristiwa ruhani yang membersihkan ruh kita, hati kita atas segala kurang ilmu kita tentang nikmat Allah dan tujuan kita diciptakan di dunia ini. Untuk itu, fokuslah pada nikmat Allah berupa istrimu yang takdzim kepadamu dan sabar atas takdirnya sambil engkau terus mendekatkan diri, memohon ampun dan berdoa kepada Maha Memberi dan Maha Tau. Sayangilah istrimu sebanyak mungkin, angkatlah derajat istrimu dengan cinta karena Allah, insyaAllah tidak lama lagi Allah akan mengabulkan doamu dan memberimu anak yang sholih-sholihah.”

Air mata si santri semakin deras dan setelah itu mohon pamit pulang kepada Sang Kyai untuk segera menemui istrinya dan memohon maaf atas khilafnya selama ini. Alhasil selang 6 bulan setelah peristiwa itu, istri santri itu hamil setelah 6 tahun usia pernikahan. MasyaAllah.